Pages

welcome


widgeo.net

Rabu, 24 April 2013

pengalaman pribadi mengenai SEF


awal diriku mengenal SHARIA ECONOMIC FORUM atau sering dikenal dan disebut dengan SEF yaitu saat PPSPPT kampus yang ke-2 atau banyak yang mengenalnya dengan sebutan OSPEK berawal dari melihat brosurnya dan mendengarkan paparan dr kk nya kalo ga salah Kak Muhammad Rizky Rizaldy atau yg biasa dipanggil dengan sebutan Kak aldy, beliau yang menjelaskan beberapa hal mengenai SEf lalu entah mengapa saya tertarik dan penasaran lalu saya mendaftar utk mengikuti sejumlah rangkaian kegiatan SEF. Awal kegiatan yg saya ikuti di SEF ialah

1.       Acara Diskusi Bulanan yang bernama Aktualisasi Syariah pada bulan Oktober dan pada saat saya sampai dilokasi saya sangat disambut dengan hangat lalu saya mengikutinya  hingga selesai yaitu jam 17.30 sore lalu hingga 8 bulan kemudian.

2.       Acara yang kedua yaitu Seminar “An Inroduction to Sharia Economic 2011” yg kebetulan dilaksanakan di kampus J1 lalu saya beli tiketnya dan tidak nyangka saya pembeli pertama loooooohhh! (pamer dikit hehehe) yaialah pembeli pertama wong saya izin matakuliah PAI sebentar utk beli tiketnya soalnya takut bgt kehabisan hehehehe eiiitsss tapi tenang aja habis beli tiketnya langsung keatas lg kok utk belajar PAI.. hehe

3.       Acara yang ketiga ini loooh yang berat pake diseleksi segala, what? Seleksi? Utk apaan coba? Nah kan penasaran pasti pada mau tau bgt yaaaa?haha… waktu ana mengikuti diskusi bulanan yaitu AKTUALISASI SYARIAH yang rutin tiap bulannya diselenggarakan ada satu pengumuman yg membuat penasaran ingin ikutan aja,,, yaitu pengumuman tentang lowongan menjadi panitia tambahan pada bagian bazaar.. lalu saya penasaran coba coba aja ikut alur seleksinya daaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn seleksinya ituloooh yg hebat bgt hari minggu pagi jam 10an kalo gasalah di belakang gedung gitu deeh deket bank DKI kampus D saya dateng dengan penuh dag-dig-dug dengan membawa lamarannya dan untung saja temen yg ikut seleksi banyak yg dikenal karena kami ikut AKSYAR juga ada Fani, Sarah,Diky, kak Cipta, Hauzan, Agung, Iqbal, Siti, Wanda.. waaah subhanallah bgt deh acaranya emmazing bgt dan makin lama aku ingin masuk SEF karena kekeluargaan yang sangat erat didalamnyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…

4.       Acara yang keempat yaitu adalaaaahhhh KULIAH INFORMAL EKONOMI SYARIAH 2011. Acara nya yaitu ya kayak kuliah gitu deh tapi bedanya diikuti oleh sekitar 300 orangan mungkin soalnya ga ngitungin dan bukan panitia nya juga hehehe,, acara ini berlangsung selama full 5 hari dari pagi sampe sore dengan materi yg berbeda pula tiap harinya cukup menambah pengetahuan terutama dalam hal ekonomi syariah

5.       Acara yang kelima yaitu Diklat Ekonomi Islam (DEI) acara ini berlangsung selama 3 hari di kawasan Puncak gt deeh. Acara ini merupakan rangkaian kegiatan terakhir saya supaya dapat bergabung untuk belajar dengan kakak-kakak SEF terdahulu, disana kami para peserta sekaligus calon anggota muda baru Sharia Economic Forum diajarkan dengan berbagai materi seperti memaknai kehidupan, sejarah, berdagang, dan tak lupa tentang organisasi itu apa dan bagaimana kinerja di SEF. Setelah itu kami dilantik lalu dengan resmi kami telah menjadi anggota SEF yg harus IKHLAS & PROFESIONAL..

Dan begitulah rangkaian kegiatan yg ana lakukan sehingga ana bisa bergabung dengan Sharia Economic Forum dan sekarang ana harus IKHLAS & PROFESIONAL dalam menjalankan segala amanat yg telah di percayakan pada ana dan InsyaAllah ana akan laksanakannya dan ana siap utk terus belajar, belajar, belajar dan belajar semua hal yg masih banyak belum ana pahami dan InsyaAllah akan mewujudkan mimpi melalui SEF karena SEF dan SEF…!!

EKONOMI SYARIAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBIIIIIIIIIISSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!

KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA DAN POTENSI POLITIK

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA DAN POTENSI POLITIK



DI SUSUN OLEH

NAMA
:
NUGERAHA AZHIMA
NPM
:
15211263
KELAS
:
1EA23






PROGRAM  STUDI  MANAJEMEN
FAKULTAS  EKONOMI
UNIVERSITAS  GUNADARMA



Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya , penulis dapat menyelesaikan makalah Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik dengan baik dan lancar .

Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan para pembaca tentang   Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik. Pemahaman tersebut dapat dipahami melalui pendahuluan , pembahasan masalah , serta penarikkan garis kesimpulan dalam makalah ini .

Makalah Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik ini disajikan dalam konsep dan bahasa yang sederhana sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami makalah ini . Dengan makalah ini , diharapkan pembaca dapat memahami mengenai hak dan kewajiban sebagai anggota warga negara .

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya menyusun makalah Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik . Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan berupa konsep dan pemikiran dalam penyusunan makalah ini .

        Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca . Saran , kritik dan masukkan sangat penulis harapkan dari seluruh pihak dalam proses membangun mutu makalah ini .


Bekasi , April 2013

Penulis

  
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya dan memiliki keanekaragaman suku, agama, ras, bahasa daerah, dan adat istiadat. Sesuai dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika (garuda) merupakan lambang dari berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Dan keragaman bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri keberadaannya, karena Indonesia sendiri memiliki lebih dari 300 suku bangsa yang berbeda-beda dan memiliki lebih dari 200 juta penduduk yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi.
Akibat dari keberagaman bangsa Indonesia, terjadi banyak sekali potensi konflik. Indonesia memiliki potensi konflik dan diskriminasi tinggi akibat belum meratanya toleransi antarsesama anak bangsa. Menurut Polri, menginventarisir ada 1.629 lokasi berpotensi konflik. Menurutnya, lokasi-lokasi itu tersebar pada beberapa latar belakang kondisi masyarakat. Lokasi terbanyak terjadinya konflik adalah perkebunan, pertanahan, agama, ekonomi sosial dan budaya, serta pertambangan.

BAB II

PEMBAHASAN

Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen.  Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang  berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut ”tawuran”, [3] sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu. [5]
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.

BAB III

PENUTUP

Banyaknya keanekaragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia seharusnya bukan lah menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik melainkan terjadinya keharmonisan serta kedamaian dalam suatu kehidupan karena perbedaan yang ada itu dapat bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya




[1] Lihat bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II 2005. Bahkan dikatakan pula bahwa aktifis keagaman waktu laris bagaikan kacang goring.
[2] Lihat hasil penelitian Hamdan Basyar (Ed.), Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola-pola Alternatif Penyelesaiannya (Jakarta : P2P LIPI, 2003).
[3] Istilah ”tawuran” merupakan hasil diskusi penelitian tim penelitian Konflik Poso, LIPI.,[Hamdan Basyar (Ed.), 2003] dan [Bayu Setiawan (Ed.), 2004].
[4] Lihat ”Konflik Poso adalah Konflik Agama”, dalam Bulletin Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Edisi 10, hlm.12.
[5] Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Poso.