TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA DAN POTENSI
POLITIK
DI SUSUN OLEH
NAMA
|
:
|
NUGERAHA AZHIMA
|
NPM
|
:
|
15211263
|
KELAS
|
:
|
1EA23
|
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
Kata Pengantar
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya , penulis dapat menyelesaikan makalah Keanekaragaman
Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik dengan baik dan lancar .
Makalah ini disusun
untuk menambah pengetahuan para pembaca tentang Keanekaragaman
Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik. Pemahaman tersebut dapat
dipahami melalui pendahuluan , pembahasan masalah , serta penarikkan garis
kesimpulan dalam makalah ini .
Makalah Keanekaragaman
Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik ini disajikan dalam konsep dan
bahasa yang sederhana sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami makalah
ini . Dengan makalah ini , diharapkan pembaca dapat memahami mengenai hak dan
kewajiban sebagai anggota warga negara .
Ucapan terimakasih
penulis sampaikan kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya
menyusun makalah Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik .
Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan berupa konsep dan pemikiran dalam penyusunan makalah ini .
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca . Saran , kritik dan masukkan sangat penulis harapkan dari seluruh
pihak dalam proses membangun mutu makalah ini .
Bekasi , April 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumber daya dan memiliki keanekaragaman suku, agama, ras,
bahasa daerah, dan adat istiadat. Sesuai dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika
(garuda) merupakan lambang dari berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa
Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Dan keragaman bangsa Indonesia tidak
dapat dipungkiri keberadaannya, karena Indonesia sendiri memiliki lebih dari
300 suku bangsa yang berbeda-beda dan memiliki lebih dari 200 juta penduduk
yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitasnya yang tinggi.
Akibat dari
keberagaman bangsa Indonesia, terjadi banyak sekali potensi konflik. Indonesia
memiliki potensi konflik dan diskriminasi tinggi akibat belum meratanya
toleransi antarsesama anak bangsa. Menurut Polri, menginventarisir ada 1.629
lokasi berpotensi konflik. Menurutnya, lokasi-lokasi itu tersebar pada beberapa
latar belakang kondisi masyarakat. Lokasi terbanyak terjadinya konflik
adalah perkebunan, pertanahan, agama, ekonomi sosial dan budaya, serta
pertambangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik
di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum
bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di
Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah
berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan
menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso
adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat
suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di
Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku
asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo
Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok
besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut
dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan
ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok
pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada
di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok
besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja
Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa
seperti halnya kelompok pertama.
Kalau
dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun
setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang
mendominasi adalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut
agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam
dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru
kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman
ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan
yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat
kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai
kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal
konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan
Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk
seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap
konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar
persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua
pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada
perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan
keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah
kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum
meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas
keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi
akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi
yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad
nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15
Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa
Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini
mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan
melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil”
tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai
melebar apalagi berlarut-larut.
Memang,
setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun
seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat
keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso
kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal
kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama
setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni
2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada
Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut
memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun
pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu,
mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap
memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan
yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya
bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar
Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang
dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas
masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari
luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki
kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona,
dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus,
mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa
yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah
kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda
tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengakana
bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan denga
benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada
kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan
senjata api.
Pola keempat adalah
kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai
dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow
up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari
perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa
kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik
pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut
”tawuran”, [3] sebab
konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan
wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas
kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok
lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras,
kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras
bersama.
Mulai
Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik
telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada
upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan
terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai
bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui
ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi
bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan
pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan
batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah
mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima,
serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik
Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang
sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele
berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam
kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu
miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya
dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk
asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan
sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik
diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang
semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen
bangsa.
Akar
penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis.
Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial
Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk
dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan
dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik,
terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik
agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama
dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas
Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun,
di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun
1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal
30-an persen. [4] Data
tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen
Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha
dan Hindu. [5]
Proses
pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan,
sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi
sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan
komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan
penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan
maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya
ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu
lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi
pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis
yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan.
Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat
ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai
terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas
keagamaan.
Fakta
pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era
kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya
mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan
mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang
semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan
strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan
tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian
mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan
dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian
berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam
mencermati konflik Poso.
Dari
situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya
sangat kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi,
disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula
kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para
laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang
memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.
BAB III
PENUTUP
Banyaknya keanekaragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia seharusnya bukan lah menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik melainkan terjadinya keharmonisan serta kedamaian dalam suatu kehidupan karena perbedaan yang ada itu dapat bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya
[1] Lihat
bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II 2005. Bahkan dikatakan
pula bahwa aktifis keagaman waktu laris bagaikan kacang goring.
[2] Lihat
hasil penelitian Hamdan Basyar (Ed.), Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian
Pola-pola Alternatif Penyelesaiannya (Jakarta : P2P LIPI, 2003).
[3] Istilah
”tawuran” merupakan hasil diskusi penelitian tim penelitian Konflik Poso,
LIPI.,[Hamdan Basyar (Ed.), 2003] dan [Bayu Setiawan (Ed.), 2004].
[4] Lihat
”Konflik Poso adalah Konflik Agama”, dalam Bulletin Laskar Jihad Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, Edisi 10, hlm.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar